90% Bahan Baku Obat Masih Impor, Peneliti Kembangkan Herbal Kembali ke Alam

Di balik tembok kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), semangat membawa hasil riset keluar dari laboratorium dan menjadikannya manfaat nyata bagi masyarakat.--
Kini, Cur-Ko Smart telah dikembangkan bersama industri farmasi seperti Sidomuncul. Produk ini menjadi contoh nyata hilirisasi riset UNS yang berhasil menembus pasar.
Bagi Yuliana, pencapaian ini melebihi komersialisasi, tapi merupakan bentuk kemandirian bangsa dalam menyediakan bahan baku obat.
“Bangsa kita kaya akan sumber daya alam, tinggal bagaimana kita bisa mengolahnya. Riset harus menjadi jalan untuk mengangkat potensi lokal menjadi kekuatan nasional,” tegasnya.
BACA JUGA:Kenalin Nih! Sosok Pria Ini Dinobatkan Jadi Camat Terbaik se-Kalimantan Utara
Bone Graft dari Tulang Sapi Setempat
Sementara itu, dari sisi lain kampus, tim riset yang dimulai oleh Joko Triyono bersama mitra hilirisasi PT Bengawan Synergy Meditech (BSM) menghadirkan inovasi kesehatan berbasis biomaterial: bone graft lokal atau material pengisi tulang.
Menurut asisten peneliti dan anggota tim hilirisasi, Fatah Ramadhan, ide ini muncul dari fakta bahwa angka patah tulang di Indonesia sangat tinggi, sementara hampir semua material pengisi tulang masih diimpor.
“Kami ingin menghadirkan solusi dari dalam negeri, memanfaatkan potensi lokal,” jelas Fatah.
Tim memanfaatkan limbah tulang sapi dari rumah potong hewan di kawasan Surakarta dan sekitarnya, seperti Jagalan dan Boyolali.
Mereka mengolahnya menjadi produk kesehatan bernilai tinggi.
Hasilnya, lahirlah bovine bone graft yang kini telah lolos uji, masuk dalam e-katalog nasional, dan digunakan di berbagai rumah sakit.
Respon pasar dan tenaga medis pun positif. Produk ini dinilai efektif, aman, dan jauh lebih terjangkau.
“Kami sudah mulai bekerja sama dengan beberapa produsen alat kesehatan dan siap memperluas pasar ke tingkat internasional,” ujar Fatah.
Walaupun demikian, perjalanan menuju hilirisasi dikenang oleh Fatah sebagai salah satu masa tersulit dalam pengembangan inovasi material pengisi tulang ini.
Ia menekankan bahwa banyak riset yang berhenti di prototipe karena kesulitan mencari mitra industri.
“Tantangannya adalah menjembatani sisi ilmiah dengan sisi bisnis. Tapi dengan dukungan asosiasi seperti Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) dan Himpunan Pengembangan Ekosistem Alat Kesehatan Indonesia (Hipelki), akhirnya kami menemukan mitra industri yang tepat,” pungkas Fatah.
Sumber: