Habitat Makin Tergerus, Gajah Sumatra di Ambang Kepunahan
Deforestasi yang masif terjadi di bentang alam Seblat, Bengkulu, memicu kekhawatiran serius --WCS
KALTARA, DISWAY.ID - Deforestasi yang masif terjadi di bentang alam Seblat, Bengkulu, memicu kekhawatiran serius para ahli konservasi, salah satunya Prof Burhanuddin Masyud.
Pakar Ekologi dan Manajemen Satwa Liar IPB University itu menuturkan, situasi yang terjadi saat ini bukan sekadar berkurangnya tutupan hutan.
“Ini adalah ancaman sistemik yang menggerus fondasi keberlangsungan populasi gajah Sumatra,” tandasnya.
BACA JUGA:Mikroplastik Ancam Ibu Hamil, Ahli Ingatkan Waspadai 3 Jalur Masuk ke Tubuh
Data terbaru menunjukkan sedikitnya 1.585 hektare habitat gajah Sumatra hilang sepanjang Januari 2024 hingga Oktober 2025.
Angka tersebut belum termasuk dugaan perambahan ilegal seluas 4.000 hektare yang diduga kuat dikonversi menjadi perkebunan sawit.
“Apa yang terjadi di Bengkulu bukan sekadar kehilangan hutan, tetapi serangan langsung terhadap ekologi, reproduksi, dan keseimbangan interaksi gajah dengan lingkungan. Dampaknya akan berlapis dan jangka panjang,” ujarnya.
BACA JUGA:Ahli Gizi Ingatkan Jangan Tambahkan Sayuran Hijau ke Smoothies Ini Penjelasannya
Prof Burhanuddin menjelaskan bahwa area yang hilang merupakan bagian dari koridor jelajah musiman di Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis. Koridor ini berfungsi sebagai jalur migrasi, sumber pakan, hingga ruang yang memfasilitasi proses reproduksi alami.
“Jika koridor musiman hilang, sinkronisasi perilaku fisiologis untuk perkawinan dapat terganggu. Ketika reproduksi terganggu, penurunan populasi menjadi keniscayaan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa percepatan alih fungsi hutan menjadi perkebunan, lahan budi daya, hingga permukiman meningkatkan potensi konflik manusia-gajah.
Fenomena serupa telah terjadi sebelumnya di Aceh dan Riau, yang mencatat tingginya kematian gajah akibat perburuan, keracunan, dan benturan dengan aktivitas manusia.
BACA JUGA:Ahli Gizi Ungkap 5 Kebiasaan Sarapan yang Ternyata Tak Sehat
Menurut Prof Burhanuddin, akar masalahnya adalah dominasi orientasi ekonomi dalam kebijakan tata guna lahan.
Sumber: