KALTARA, DISWAY.ID - Wacana pembatasan media sosial berbasis usia bagi anak kembali menguat seiring kebijakan serupa yang mulai diterapkan di sejumlah negara, seperti Australia.
Menyikapi hal tersebut, Dr Yulina Eva Riany, Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, menilai pembatasan usia dapat menjadi langkah awal yang strategis dalam upaya perlindungan anak di ruang digital. Dengan catatan, selama diiringi dengan penguatan literasi digital.
BACA JUGA:Daftar UMP Kaltara 2026 dan UMK Kabupaten, Berikut Rinciannya
Shock Therapy
Menurut Dr Yulina, pembatasan usia memiliki nilai penting sebagai bentuk edukasi awal bagi masyarakat, terutama di Indonesia yang cenderung lebih patuh terhadap aturan yang disertai sanksi dibandingkan imbauan semata.
“Pembatasan media sosial berbasis usia dapat diposisikan sebagai shock therapy awal untuk meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan anak di ruang digital,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kebijakan pembatasan tidak akan efektif jika diterapkan secara tunggal.
BACA JUGA:Rekomendasi Hadiah Laptop dan Gadget Premium Lenovo untuk Akhir Tahun 2025
Penguatan literasi digital, khususnya bagi orang tua, menjadi prasyarat penting agar kebijakan tidak berhenti sebagai aturan administratif.
“Anak-anak memiliki kemampuan adaptasi digital yang sangat cepat, termasuk dalam mencari celah untuk mengakali batasan usia. Karena itu, pembatasan harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital orang tua dan sekolah,” jelasnya.
Dr Yulina menambahkan, literasi digital memungkinkan orang tua melakukan pendampingan yang efektif.
Sementara sekolah berperan membangun kemampuan berpikir kritis, etika digital, dan kesadaran anak terhadap risiko di ruang daring. Tanpa kesiapan tersebut, kebijakan justru berpotensi menimbulkan kesenjangan antara regulasi dan praktik di lapangan.
Dalam konteks Indonesia, ia menilai risiko terbesar dari pembatasan media sosial tanpa kesiapan ekosistem adalah meningkatnya akses tersembunyi oleh anak.
Kondisi ini membuat anak lebih rentan terhadap konten berbahaya, perundungan daring, eksploitasi data pribadi, hingga paparan ideologi ekstrem.
“Jika anak mengakses media sosial secara diam-diam tanpa pendampingan, risikonya justru jauh lebih besar,” katanya.
BACA JUGA:Generasi Z Harus Tahu: 5 Cara Mudah Detox Gadget untuk Jaga Kesehatan Mental